Keberhasilan
proses belajar mengajar (PBM) dipengaruhi oleh berbagai aspek, seperti
metode mengajar, sarana-prasarana, materi pembelajaran, kurikulum, dll.
Dari berbagai aspek itu, yang memegang peranan penting PBM adalah guru.
Selengkap apa pun sarana-prasarana, kalau tidak ditunjang oleh
kompetensi guru terhadap bidang studi yang diajarkan, tidak akan
berhasil.Bagi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, kompetensi
yang harus dimiliki guru bahasa Indonesia tidak hanya penguasaan
teori-teori serta materi bahasa dan sastra Indonesia saja. Tetapi yang
lebih utama, guru harus memiliki kompetensi sebagai model dalam
menyampaikan materi bahasa dan sastra Indonesia karena tujuan utama
pelajaran bahasa Indonesia yaitu terampil berbahasa.
Pelajaran bahasa adalah salah satu pelajaran yang kurang
mendapat perhatian. Salah satunya disebabkan dalam menyajikan materi,
guru belum mampu menjadi model dalam pelajaran itu. Padahal, pelajaran
bahasa dan sastra Indonesia sangat penting dalam kehidupan sebagai
sarana menyampaikan ide, gagasan, dan pendapat dalam berkomunikasi
sehri-hari.
Pelajaran bahasa dan sastra Indonesia menyangkut empat
aspek yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Dalam menyampaikan empat aspek keterampilan tersebut, guru dituntut
terampil dulu berbahasa, jangan sampai guru bahasa hanya bisa menyuruh
siswa, membaca, menulis, dan mengapresiasi sastra. Sedangkan gurunya
sendiri tidak pernah melakukannya.
Seperti yang diungkapkan Erwan
Juhara, guru harus jadi model PBM bagi murid-muridnya dalam angka
eksistensi sastra, dalam kehidupan akademis, yang selanjutnya
memanfaatkan dampak positifnya dalam penciptaan atmosfir sastra di
masyarakat.
Contohnya, banyak guru tidak bisa menjadi model yang baik
saat ia membina budaya baca sastra karena guru sendiri tidak pernah
membaca karya sastra. Begitu pun dalam mengajarkan menulis, guru tidak
memiliki karya dan pengalaman mengarang. Ada juga guru yang menyuruh
muridnya menyaksikan pertunjukan karya sastra sementara ia tak tertarik
menyaksikan karya sastra.
Seperti yang diungkapkan Taufik Ismail
dalam membantu memperbaiki pengajaran membaca, mengarang, dan apresiasi
sastra, dikenal "Paradigma Baru Pengajaran Sastra", yaitu siswa
dibimbing memasuki sastra secara asyik, nikmat, dan gembira.
Sastra
sebagai sesuatu yang menyenangkan, yang membuat mereka antusias, dan
yang mereka merasa perlu. Biasakan membaca karya sastra puisi, cerita
pendek, novel, drama, dan esai. Bukan melalui ringkasan.
Kelas
mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan. Dalam membicarakan
karya sastra, aneka ragam tafsir harus dihargai sepanjang pendapat itu
dikemukakan dalam disiplin berpikir yang logis. Pengetahuan tentang
sastra (teori, definisi, sejarah) tidak utama dalam pengajaran sastra,
cukup sebagai informasi sekunder ketika membicarakan karya sastra.
Pengajaran sastra mestinya menyemaikan nilai-nilai positif pada batin
siswa.
Untuk melaksanakan paradigma di atas, guru harus menjadi model
penikmat karya sastra, dengan menceritakan pengalamannya menikmati
bahasa, isi sastra, sehingga kegemarannya membaca karya sastra tergambar
dalam dirinya. Nilai positif dalam karya sastra dipraktikkan dalam
sikap dan perilakunya sehari-hari sehingga dapat menjadi contoh yang
akan menyemaikan nilai-nilai positif pada batin siswa.
Sebelum siswa
membacakan puisi, guru harus terlebih dahulu membaca puisi di depan para
siswanya dengan suara, sikap, dan penjiwaan yang baik. Guru juga harus
mampu membacakan cerita dengan intonasi dan bahasa yang tepat sehingga
tokoh-tokohnya hidup dan mampu menarik perhatian siswa. Guru pun harus
terampil menulis, menyajikan karya tulisnya.
Misalnya, tahap awal
anak diberi kuis untuk melengkapi tanda baca, menempatkan huruf kapital,
membagi paragraf, dan menyusun paragraf. Setelah itu, guru memberikan
sebuah contoh karangan yang bagus, baru siswa disuruh mengarang dengan
ekspresi diri yang melegakan perasaan, melalui imajinasi yang kaya,
sesuai dengan fantasi siswa.
Teori-teori mengarang disampaikan pada
saat memeriksa karangan siswa. Hal ini dilakukan supaya siswa tidak
hanya menguasai teori-teori tetapi terampil menulis. Tidak hanya menulis
karya sastra tetapi juga karya ilmiah, menulis laporan, dan menulis
surat.
Untuk keterampilan berbicara, guru dituntut terampil
berpidato, terampil membawakan acara, dan berbicara lainnya. Dalam
menyampaikan materi ini, guru harus berdasarkan pengalamannya, bukan
hanya berdasarkan teori-teori di buku saja.
Guru yang memiliki
kompetensi berbahasa yang baik akan membantu keberhasilan PBM yang
berpusat kepada siswa. Hal ini sesuai dengan konsep dasar life skill
(kecakapan hidup), yang menyangkut kecakapan mengenal diri, kecakapan
berpikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan
kerja.